SI BINTANG JATUH

Hari ini mentari kembali bersedekah
menggelar kanvas tuk kuberlari dan bernyanyi

Hari ini aku akan menyanyi
sebuah kidung asmaradana
yang tercipta dari sebuah jarak yang lisut
pada cerita sebuah kemustahilan

    :javiera indira
demikianlah dia tersebut
sebuah nama yang tergranit dari penantian
sebuah sejarah yang membongkar segala laknat
datang menegukkan oase di tengah kembara hati
datang menangkupkan cahya di tengah kerontang jiwa
datang menghiasi mega di tengah gerimis mendung
nama itu
yang memberondong nurani dengan cinta
nama itu
yang menyelimuti ego dengan kasih
nama itu
    :terindah

pada dialah kuserahkan segala ikrar
pada dialah kupaparkan segala tawakal

Lalu titian hari melewati semua lakon
    air
    rembulan
    lilin
    awan
    merpati
    pelukan
    cadas
    lautan
    batu
    merah
    hijau
    lembayung
    nila
    biru
    dan hitam

Tapi ketegaran adalah sebuah kesetiaan
yang menghujam tajam pada kepercayaan
dan waktu adalah sang penguji
Lalu bersama lewati angkara
dalam dahaga yang menggoda
tak terhitung lagi berapa lembaran cerita tercipta
    disana ada kidung
            tertawa
            ceria
            tangisan
            kesal dan marah

Tapi,
    asmaradana adalah granit
    tirta kamandanu adalah prasasti
    terpahat dengan jiwa
    terukir dengan nurani
    pada belahan jiwa diserahkan
    bagimu
    bagiku
    bukan setengah-setengah
    tapi satu satu
    dan kita tetap satu
    walau terpisah oleh jarak dan waktu
Bintang jatuh,
    Kau hadiahi aku dengan kanvas
    tanpa bingkai
    polos
    putih
    dan telah kulukiskan diatasnya:
        jiwaku
        nuraniku
        tubuhku
        cintaku
        dan segala keakuanku
    tak bersisa
    sedikit pun
    bahkan aku tak berpunya apa-apa
padamu Bintang Jatuh
telah kurelakan semuanya

masihkah sinarmu memancar benderang
abadi
dan tak padam
setelah hari ini setahun kita lewati?

pada jarak yang telah lisut
dan waktu yang melengkung
kuserahkan jawaban

…..bagiku,
    Kau adalah granit di prasasti jiwa
    tak tergantikan
    Sungguh
    !

Perum, 6 September 2002 (02.15)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar